Langkah Proaktif: Gubernur Sumbar Minta Badan Geologi ESDM Pemetaan Daerah Rawan Bencana Secara Detail

Admin Biro Umum 09 Desember 2025 11:45:30 WIB 67 kali dibaca

Padang, 9 Desember 2025 — Gubernur Provinsi Sumatera Barat meminta dukungan penuh Badan Geologi, Kementerian ESDM, untuk segera melakukan pemetaan rinci terhadap wilayah-wilayah yang rawan bencana geologi. Permintaan tersebut ditujukan agar data geologi yang akurat bisa menjadi dasar yang kuat bagi kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana — termasuk penentuan lokasi relokasi hunian yang aman dan berkelanjutan bagi masyarakat terdampak. 

Kenapa pemetaan geologi jadi prioritas sekarang?

Musim hujan ekstrem dan rangkaian peristiwa hidrometeorologi akhir-akhir ini meningkatkan frekuensi banjir bandang, tanah longsor, dan ancaman likuefaksi di sejumlah kabupaten/kota Sumatra, termasuk di beberapa daerah Sumbar. Kondisi ini menempatkan kebutuhan akan peta kerentanan geologi sebagai langkah prioritas — bukan sekadar dokumentasi akademis, tetapi alat operasional untuk menentukan lokasi relokasi, akses infrastruktur, dan desain hunian tahan bencana. Laporan situasi dan pendataan lokal juga menunjukkan percepatan kebutuhan intervensi untuk pemulihan. 

Peran dan kapasitas Badan Geologi

Badan Geologi memiliki mandat teknis untuk memetakan potensi gerakan tanah, likuefaksi, dan bahaya geologi lain secara berkala. Dalam beberapa tahun terakhir badan ini telah meningkatkan kapasitas survei, penyelidikan lapangan, dan pelayanan informasi mitigasi untuk daerah-daerah terdampak. Peta prakiraan potensi gerakan tanah dan laporan penyelidikan lokal (mis. untuk daerah-darah di sekitar Danau Maninjau dan Agam) menjadi contoh keluaran teknis yang dapat langsung dipakai pemerintah daerah dalam perencanaan relokasi. 

Pendekatan pemetaan yang diperlukan (apa yang harus dilakukan)

Untuk menghasilkan peta yang dapat dipakai sebagai dasar kebijakan, langkah-langkah teknis yang direkomendasikan meliputi:

  • Survei lapangan terfokus di titik-titik dengan laporan kerusakan paling parah dan di lereng-lereng curam yang berisiko longsor.

  • Analisis geoteknik (uji tanah, pengukuran kemiringan lereng, klasifikasi litologi) untuk menilai stabilitas lereng dan potensi likuefaksi.

  • Pemanfaatan data remote sensing (citra satelit, DEM/LiDAR) untuk memetakan perubahan morfologi, aliran sungai, dan zona rawan skala besar.

  • Integrasi peta curah hujan dan hidrologi agar pemodelan bahaya memperhitungkan pemicu hidrometeorologi.

  • Peta zonasi relokasi yang mempertimbangkan akses layanan dasar (air, jalan, listrik) dan jarak minimal dari zona bahaya.

Pendekatan terintegrasi ini akan mempercepat identifikasi lokasi hunian sementara dan permanen yang memenuhi syarat keselamatan, sambil meminimalkan biaya sosial dan ekonomi relokasi.

Siapa yang harus dilibatkan?

Keberhasilan pemetaan dan implementasi relokasi memerlukan koordinasi lintas lembaga: Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota, Badan Geologi (ESDM), BNPB/BPBD, BMKG (untuk data curah hujan dan peringatan dini), Kementerian PUPR/PKP (perencanaan perumahan relokasi), serta lembaga teknis dan akademik lokal. Keterlibatan tokoh masyarakat dan pemilik lahan juga penting untuk aspek legal dan sosial—misalnya pemastian hak atas lahan dan penerimaan komunitas. Laporan-laporan kebencanaan nasional menunjukkan bahwa proses kohesif multi-lateral seperti ini mempercepat rehabilitasi dan mengurangi risiko kerugian lanjutan. 

Dampak anggaran dan waktu

Pemetaan rinci dan tindak lanjut relokasi menuntut komitmen anggaran dan rencana jangka menengah. Kasus-kasus bencana besar di Sumatra menunjukkan kebutuhan pembiayaan pemulihan yang cukup besar; salah satu laporan internasional-lokal memperkirakan nilai pemulihan besar untuk pulau Sumatra setelah banjir-bandang besar, yang menegaskan bahwa investasi mitigasi awal (pemetaan dan relokasi terencana) lebih hemat dibandingkan biaya rekonstruksi darurat kemudian. Namun angka spesifik anggaran lokal harus ditentukan lewat kajian terpadu antara pemerintah daerah dan kementerian terkait. 

Rekomendasi singkat untuk langkah berikutnya

  1. Percepatan audiensi teknis antara Gubernur dan Kepala Badan Geologi untuk menyepakati area prioritas pemetaan dan alur data. 

  2. Pemetaan cepat (rapid assessment) selama 2–4 minggu untuk menentukan “zona paling kritis” yang membutuhkan relokasi segera.

  3. Peta zonasi relokasi yang transparan dan dipublikasikan agar masyarakat tahu dasar keputusan relokasi.

  4. Program sosialisasi dan kompensasi untuk warga terdampak agar relokasi bersifat adil dan berkelanjutan.

  5. Sumber dana campuran (APBD provinsi/kabupaten, dana nasional, bantuan darurat) untuk menutupi biaya survei dan pembangunan hunian sementara/permanen. 


Gubernur dan pemerintah provinsi menekankan bahwa langkah-langkah teknis seperti pemetaan geologi bukan sekadar kegiatan ilmiah, melainkan syarat mutlak agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana berjalan aman, efektif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan teknis Badan Geologi dan koordinasi lintas sektor, diharapkan relokasi rumah penduduk dapat ditentukan berdasarkan data yang kuat — sehingga mengurangi risiko bencana berulang di masa depan.